menghadapi masa pensiun
Welcome post power syndrome..
Selama saya belajar tentang perencanaan keuangan, teori yang diajarkan tentang perencanaan pensiun selalu tentang biaya hidup: investasi, cara mengimbangi inflasi, dan sebagainya. Bukannya teori itu salah, tapi kenyataannya kurang membumi. Mungkin saja hanya tidak cocok dengan beberapa kasus.
Kasus yang lain. Saya didatangi oleh istri seorang mantan pejabat. Suaminya baru 8 bulan pensiun, tapiudah menghabiskan dana Rp4 miliar. Hampir separuh cadangan pensiunnya itu habis untuk mencoba bisnis baru dan sederet percobaan investasi. Alasannya: ingin tetap eksis di pergaulan sosial. Ingin tetap dihargai dan dihormati orang lain.
Again, post power syndrome attack...
Menurut saya, merencanakan pensiun bukan sekadar merencanakan jumlah uang. Tapi mengatur portfolio uang supaya memenuhi kebutuhan dengan tepat.Disinilah pentingnya Kombinasi teori perencanaan keuangan dengan kebutuhan psikologi.
Berdasarkan teori Abraham Maslow, hirarki kebutuhan manusia akan berubah sesuai level kondisi keuangannya. Bagi yang tidak lagi bermasalah dengan sandang, pangan, dan papan, pusing tentang aktualisasi pikiran. Jadi,pengaturan portfolio harus searah dengan teori itu.
Saya sepakat, jika setelah pensiun, harus memiliki kegiatan sesuai hasratnya. Bisa kegiatan bisnis, sosial, atau tetap bekerja sebagai self employee. Hanya saja, orientasinya sudah bukan lagi tentang uang. Tapi lebih ke aktualisasi diri . Mungkin sekadar pengisi waktu.
Biaya aktualisasi diri inilah yang sering diabaikan dalam merencanakan dana pensiun. Dari banyak kasus yang saya temukan, banyak orang buman tidak siap dana pensiunnya, tapi tidak siap mental menghadapi pensiun.
Sebelum pensiun, cobalah ingat enam hal ini:
1. Dana darurat selama lima tahun biaya hidup.
Ambil biaya hidup sehari-hari dari portfolio ini. Dana ini hanya boleh ditempatkan di produk konservatif. Kalaupun deposito, pastikan sesuai jaminan lembaga penjamin simpanan (LPS). Jangan tergiur tawaran bunga tinggi.
2. Dana bisnis.
Lebih bagus jika bisnis sudah dirintis minimal lima tahun menjelang pensiun. Jadi, masa coba-coba sudah dilewati. Jangan terlalu percaya diri, karena bisnis akan melewati prosesnya sendiri. Jika tidak bisa berbisnis sendiri, cari mitra. Ingat, Anda harus tetap terlibat. Jangan pasrahkan pada orang lain. Sebab tujuan bisnis ini demi menjaga Anda tetap produktif.
3. Dana sosial.
Makin banyak yang Anda berikan, makin besar yang didapat. Selain itu, menyumbang bukan sekadar pergi ke panti asuhan atau hal-hal melankolis lain. Anda bisa memberikan beasiswa penelitian atau hal lainnya. Membuka kursus menjagit gratis untuk orang tua? Mungkin saja. Anda bisa beramal sekaligus mendapat teman-teman baru. Salah satu klien saya kursus membuat roti setelah dia pensiun.
4.Paper Asset.
Meski usia pensiun, mungkin saja Anda membeli saham atau aset kertas lain. Risiko untuk dipelajari, diolah, dan dihadapi. Berinvestasi waktu mengenai ilmu keuangan adalah hal yang sangat saya rekomendasikan untuk dimulai jauh-jauh hari. Baca buku, berdiskusi dengan perencana keuangan. Googling? Banyak cara.
5.Real productive asset.
Misalnya properti yang disewakan (ikuti aturan tingkat pengembalian investasi atau ROI dalam properti ). Atau mungkin Anda memiliki lahan pertanian yang disewakan. Bisa juga memiliki mobil mewah yang disewakan atau koleksi barang-barang mewah yang harganya bisa naik. Kuncinya, Anda harus benar-benar memahami ladang investasinya. Jangan sekadar ikut trend.
6. Insurance.
Pastikan membeli asuransi paling maksimal sesuai kemampuan menjelang pensiun. Asuransi kesehatan, kecelakaan, penyakit kritis, bahkan mungkin anda masih membutuhkan asuransi jiwa. Jangan ragu konsultasi dengan perencana keuangan tentang kebutuhan asuransi anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar