“Aku sih gak berharap banyak. Asal ketemu orang yang baik dan bisa terima aku apa adanya aku juga udah cukup bahagia.”
Mendapatkan seseorang yang bisa menerima apa adanya diri memang membuat kita merasa jadi orang yang paling beruntung di negeri ini. Keberadaan orang ini membuat kita bebas bersikap. Tanpa lagi perlu melakukan perubahan besar-besaran, orang yang sama akan selalu menyediakan dekap.
Konsep menemukan dia yang bisa menerima apa adanya harus diakui menimbukan rasa tenang di dada. Sepertinya selepas ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Semua perjalanan selesai sesudah menemukan orang ini. Padahal bukankah prinsip ini sebenarnya egois sekali? Kamu maunya yang baik — tapi kok untuknya kamu tidak mau memperbaiki diri?
Cinta memang lekat dengan penerimaan dan konsesi. Tapi seharusnya ini bukan alasan untuk malas membenahi diri
Sudah akrab terdengar di telinga cerita tentang mereka yang terganjal dalam hubungan cinta karena alasan,
“Ya aku emang begini. Kalau memang cinta sama aku harusnya kamu gak protes lagi
Dalam ikatan macam ini deadlock selalu muncul dalam setiap perbincangan yang ada. Satu pihak menuntut, sementara pihak lain berkelit dengan alasan kuatnya perasaan seharusnya menghilangkan semua tuntut. Jalan tengah sulit ditemukan, kemudian lebih banyak pasangan yang memilih meninggalkan ikatan.
Melihat mereka yang terjebak dalam jalan tak berujung macam ini rasanya ingin mengajak mereka duduk demi meluruskan kernyit di dahi. Di satu sisi memang benar kuatnya rasa akan selalu memunculkan konsesi. Segala kurang bisa dengan damai dihadapi. Namun bukankah seharusnya dicintai tidak membuat kita malas mengeluarkan yang terbaik dalam diri? Karena apalah artinya komitmen yang tidak bisa jadi pemantik untuk terus memperbaiki diri?
Meminta dia yang baik datang tepi ogah memperbaiki keadaan membuatmu jadi pengecut sekali. Hukum macam apa yang mengamini tindakan macam ini?
Sederhana saja. Dalam hidup hukum resiprokal harusnya selalu berlaku dalam setiap masa. Sayangnya, tidak banyak orang menyadari betapa berlawanannya konsep“Diterima apa adanya” dan “Mengharapkan pasangan yang baik” dalam permohonan jodoh mereka.
Bukankah pengecut sekali jika kamu yang belum ada apa-apanya ini meminta dia yang tanpa cela datang mendampingi? Kalau sekarang kamu tak keberatan mencium dan memeluk mesra pasangan sebelum kata ‘SAH’ diucapkan — kenapa mencanangkan harapan untuk mendapatkan dia yang selalu menjaga diri dari beragam godaan? Kalau ibadahmu masih bolong-bolong di sana-sini, kenapa menuntut Tuhan memberimu pasangan yang tak absen mencium kakiNya saban hari?
Sedikit cerita. Beberapa tahun lalu ada seorang sahabat yang tidak pernah meminta kriteria jodoh macam apa yang dia harap diberikan Tuhan padanya. Sahabat ini dengan tegas memohon untuk kebaikan jodoh terbaik menurutNya. Pasangan terbaik versi semesta, bukan semata mengikuti permohonannya sebagai manusia. Namun tidak seperti kita yang ribut meminta kriteria itu dan ini, kawan yang satu ini justru terlihat lebih getol memperbaiki diri. Seminggu sekali dia mengikuti workshop pra pernikahan. Hampir 2 tahun sebelum jodohnya datang ilmu psikologi sampai keuangan keluarga sudah khatam masuk dalam ingatan.
Hal manis kemudian terjadi pasca upaya ini. Pasangan yang datang menghampiri ternyata tidak jauh dari kriteria idaman yang selama ini hanya dia simpan dalam hati. Tanpa menggurui pun, selama ada usaha memperbaiki diri, buktinya Tuhan beri.
Kecup yang tertinggal di lekuk leher dan pipi, sampai ujar balas dalam pertikaian akan kembali. Pada akhirnya dia yang datang tak akan jauh dari usaha yang sudah dilakukan saat ini
Kita ini mestinya malu jadi manusia kalau masih berharap menemukan dia yang mau menerima apa adanya. Bukankah dalam hidup apa yang kita lakukan akan kembali dalam bentuk yang tak jauh beda dari apa yang sudah telah diberikan?
Kecup di pipi dan lekuk leher pasangan akan kembali dalam bentuk kecup lain yang sudah ia rasakan lebih dulu bahhkan jauh sebelum kalian bertemu.Sifat ogah mengalah dan perasaan ‘selalu benar-dia yang salah’ kelak bisa kembali dalam ikatan baru yang membuatmu merasa payah.Sementara kamu masih window shopping ke kanan kiri, dia yang kelak mendampingimu pun sedang melakoni yang tak jauh beda dari ini. Dia enggan berhenti, meski hal baik sudah menanti di ujung perjalanan ini.
Dia yang kelak datang tak akan jauh-jauh dari upayamu mempersiapkan diri saat ini. Mengharap dia yang baik datang tanpa memperbaiki diri seharusnya membuat kita merasa tak punya muka lagi.
artikel ini terinspirasi oleh @hipwee
Tidak ada komentar:
Posting Komentar